Rabu, 23 Juni 2010
Hasrat, Komitment dan Kebranian
Namanya Hani. Hani Irmawati. Ia adalah gadis pemalu, berusia 17 tahun. Tinggal di rumah berkamar dua bersama dua saudara dan orangtuanya. Ayahnya adalah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Pendapatan tahunan mereka, tidak setara dengan biaya kuliah sebulan di Amerika.
Pada suatu hari, dengan baju lusuh, ia berdiri sendirian di tempat parkir sebuah sekolah internasional. Sekolah itu mahal, dan tidak menerima murid Indonesia. Ia menghampiri seorang guru yang mengajar bahasa Inggris di sana. Sebuah tindakan yang membutuhkan keberanian besar untuk ukuran gadis Indonesia.
“Aku ingin kuliah di Amerika,” tuturnya, terdengar hampir tak masuk akal. Membuat sang guru tercengang, ingin menangis mendengar impian gadis belia yang bagai pungguk merindukan bulan.
Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangun setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk pelajaran biasa dan menyiapkan tambahan pelajaran bahasa Inggris yang didapatnya dari sang guru sekolah internasional itu sehari sebelumnya. Lalu pada jam empat sore, ia tiba di kelas sang guru. Lelah, tapi siap belajar.
“Ia belajar lebih giat daripada kebanyakan siswa ekspatriatku yang kaya-kaya,” tutur sang guru. “Semangat Hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tetapi aku makin patah semangat.”
Hani tak mungkin memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa dari universitas besar di Amerika. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena di sekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan, karena tes semacam itu tak ada.
Namun, Hani memiliki tekad lebih kuat daripada murid mana pun.
“Maukah Anda mengirimkan namaku?” pintanya untuk didaftarkan sebagai
penerima beasiswa.
“Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik
dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tetapi juga
dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya,” ujar sang guru.
“Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Hani bahwa peluangnya untuk
diterima itu tipis, mungkin nihil.”
Pada minggu-minggu berikutnya, Hani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa
Inggris. Seluruh tes komputerisasi menjadi tantangan besar bagi seseorang
yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu ia belajar
bagian-bagian komputer dan cara kerjanya.
Lalu, tepat sebelum Hani ke Jakarta untuk mengambil TOEFL, ia menerima surat
dari asosiasi beasiswa itu.
“Inilah saat yang kejam. Penolakan,” pikir sang guru.
Sebagai upaya mencoba mempersiapkannya untuk menghadapi kekecewaan, sang
guru lalu membuka surat dan mulai membacakannya: Ia diterima! Hani diterima
….
“Akhirnya aku menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah
diketahui Hani sejak awal: bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi
juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk
percaya akan dirimu sendiri,” tutur sang guru menutup kisahnya.
Kisah Hani ini diungkap oleh sang guru bahasa Inggris itu, Jamie Winship,
dan dimuat di buku “Chicken Soup for the College Soul”, yang edisi
Indonesianya telah diterbitkan.
Tentu kisah ini tidak dipandang sebagai kisah biasa oleh Jack Canfield, Mark
Victor Hansen, Kimberly Kirberger, dan Dan Clark. Ia terpilih diantara lebih
dari delapan ribu kisah lainnya. Namun, bukan ini yang membuatnya istimewa.
Yang istimewa, Hani menampilkan sosoknya yang berbeda. Ia punya tekad. Tekad
untuk maju. Maka, sebagaimana diucapkan Tommy Lasorda, “Perbedaan antara
yang mustahil dan yang tidak mustahil terletak pada tekad seseorang.”
Anda memilikinya?
Sumber: Disadur dari Chicken Soup for the College Soul by Jack Canfield, Mark
Victor Hansen, Kimberly Kirberger, and Dan Clark
Sabtu, 12 Juni 2010
Mencari Lentera Jiwa Pengusaha
"Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma - which is living with the results of other peoples's thinking. Don't let the noise of other's opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary," demikian ucap Steve Jobs, pendiri Apple Computer dalam sebuah pidatonya.
[Waktu yang kamu miliki terbatas, jadi jangan menyia-nyiakannya, dengan hidup di dalam kehidupan orang lain. Jangan pula terjebak dalam dogma yang ada, yaitu hidup dengan hasil pemikiran orang lain. Dan, jangan biarkan opini-opini orang lain menenggelamkan suara hatimu. Dan yang lebih penting, miliki keberanian untuk mengikuti suara hati dan intuisimu. Keduanya, entah bagaimana, tahu apa yang kamu cita-citakan. Yang lainnya, adalah nomor dua.]
Cuplikan pidato dari seorang yang pernah divonis akan segera mati karena penyakit ganas yang dideritanya ini adalah gambaran bagaimana suara hati, bisa sangat menentukan masa depan seorang entrepreneur.
Keberanian mengikuti suara hati dan intuisi memang kadang butuh pengorbanan yang sangat besar. Diremehkan, dicaci, hanyalah satu dari sekian pilihan buruk yang mungkin terjadi pada orang-orang yang berani melawan arus. Jika mengutip apa yang diucapkan Steve Jobs, maka hanya orang-orang yang beranilah yang mampu menepis anggapan miring tentang apa yang dilakukan. Dan, ini berlaku juga di dunia entrepreneurship.
Dalam skala nasional, hal ini pernah dialami oleh Tirto Utomo. Sang pendiri Aqua - merek yang kini merajai air minum dalam kemasan-pada waktu hendak menerjuni usahanya.
Saat itu, tak terhitung berapa banyak yang menyangsikan keseriusannya berbisnis air minum. "Mana ada air lebih mahal daripada bensin bisa laku?" cibir banyak pihak yang meremehkan kala itu. Namun, waktu membuktikan bahwa pilihan Tirto Utomo tak salah. Aqua mampu menjelma menjadi merek air minum paling laris di Indonesia.
Hal senada dialami pula oleh Sosrodjojo, sang pelopor teh dalam kemasan botol, Sosro. Ketika akan membuat teh botol, banyak yang meragukan idenya dan bahkan ada yang mengecapnya gila. Tapi, ia bergeming dengan ide tersebut. Sejarah mencatat, Sosro menjadi merek yang melegenda hingga kini. Inilah gambaran betapa mengikuti suara hati ternyata merupakan pilihan yang (bisa) berbuah manis.
Suara Hati, Lentera Jiwa
Lantas, bagaimana sebenarnya kontek panggilan suara hati ini dalam dunia entrepreneurship? Sejarah mencatat beberapa orang sukses dalam mengikuti suara hatinya. Sang taipan pendiri Microsoft Bill Gates memilih mengikuti panggilan jiwanya, dan kemudian meninggalkan bangku kuliahnya di Harvard, untuk mengembangkan Microsoft.
Namun, jika ditilik dari apa yang dilakukan oleh para entrepreneur sukses tersebut, sebenarnya bukan melulu masalah panggilan jiwa yang menjadikan mereka sukses. Keyakinan dan komitmen kuat atas apa yang mereka lakukan yang telah membuka jalan sukses tersebut. Dalam hal ini, maka suara hati telah menjadi pendorong yang sangat kuat sehingga mereka mampu berjuang habis-habisan untuk mencapai impiannya.
0 komentar
[Waktu yang kamu miliki terbatas, jadi jangan menyia-nyiakannya, dengan hidup di dalam kehidupan orang lain. Jangan pula terjebak dalam dogma yang ada, yaitu hidup dengan hasil pemikiran orang lain. Dan, jangan biarkan opini-opini orang lain menenggelamkan suara hatimu. Dan yang lebih penting, miliki keberanian untuk mengikuti suara hati dan intuisimu. Keduanya, entah bagaimana, tahu apa yang kamu cita-citakan. Yang lainnya, adalah nomor dua.]
Cuplikan pidato dari seorang yang pernah divonis akan segera mati karena penyakit ganas yang dideritanya ini adalah gambaran bagaimana suara hati, bisa sangat menentukan masa depan seorang entrepreneur.
Keberanian mengikuti suara hati dan intuisi memang kadang butuh pengorbanan yang sangat besar. Diremehkan, dicaci, hanyalah satu dari sekian pilihan buruk yang mungkin terjadi pada orang-orang yang berani melawan arus. Jika mengutip apa yang diucapkan Steve Jobs, maka hanya orang-orang yang beranilah yang mampu menepis anggapan miring tentang apa yang dilakukan. Dan, ini berlaku juga di dunia entrepreneurship.
Dalam skala nasional, hal ini pernah dialami oleh Tirto Utomo. Sang pendiri Aqua - merek yang kini merajai air minum dalam kemasan-pada waktu hendak menerjuni usahanya.
Saat itu, tak terhitung berapa banyak yang menyangsikan keseriusannya berbisnis air minum. "Mana ada air lebih mahal daripada bensin bisa laku?" cibir banyak pihak yang meremehkan kala itu. Namun, waktu membuktikan bahwa pilihan Tirto Utomo tak salah. Aqua mampu menjelma menjadi merek air minum paling laris di Indonesia.
Hal senada dialami pula oleh Sosrodjojo, sang pelopor teh dalam kemasan botol, Sosro. Ketika akan membuat teh botol, banyak yang meragukan idenya dan bahkan ada yang mengecapnya gila. Tapi, ia bergeming dengan ide tersebut. Sejarah mencatat, Sosro menjadi merek yang melegenda hingga kini. Inilah gambaran betapa mengikuti suara hati ternyata merupakan pilihan yang (bisa) berbuah manis.
Suara Hati, Lentera Jiwa
Lantas, bagaimana sebenarnya kontek panggilan suara hati ini dalam dunia entrepreneurship? Sejarah mencatat beberapa orang sukses dalam mengikuti suara hatinya. Sang taipan pendiri Microsoft Bill Gates memilih mengikuti panggilan jiwanya, dan kemudian meninggalkan bangku kuliahnya di Harvard, untuk mengembangkan Microsoft.
Namun, jika ditilik dari apa yang dilakukan oleh para entrepreneur sukses tersebut, sebenarnya bukan melulu masalah panggilan jiwa yang menjadikan mereka sukses. Keyakinan dan komitmen kuat atas apa yang mereka lakukan yang telah membuka jalan sukses tersebut. Dalam hal ini, maka suara hati telah menjadi pendorong yang sangat kuat sehingga mereka mampu berjuang habis-habisan untuk mencapai impiannya.